Layer 0, 1, 2 Blockchain: Bedanya Apa dan Contoh Koinnya Apa Saja
Kalau kalian sering denger istilah blockchain, pasti pernah juga ketemu dengan istilah Layer 0, Layer 1, Layer 2. Buat pemula, kedengeran ribet banget, kayak bahasa alien. Padahal kalau dijelasin dengan santai, konsepnya gampang banget dimengerti dan saling terhubung satu sama lain. Sama seperti sebuah kota, semua bagian punya peran masing-masing.
Bayangin blockchain itu kayak kota digital yang modern dan canggih. Ada pondasi yang jadi dasar, jalan raya utama tempat semua orang beraktivitas, sampai jalan layang biar nggak macet saat jam sibuk. Semua bagian ini disebut layer, dan masing-masing punya peran berbeda biar kota digital tadi bisa jalan dengan lancar tanpa hambatan berarti.
Layer 0: Pondasi yang Menghubungkan Semua
Layer 0 bisa dibilang pondasi dan jalan raya induk. Di sini, tujuannya bukan cuma bikin jalan, tapi juga bikin jembatan biar semua kota digital saling terhubung, atau yang sering disebut interoperabilitas. Kenapa ini penting? Bayangkan kalau Bitcoin nggak bisa 'ngobrol' sama Ethereum. Semua ekosistem jadi terisolasi dan sulit berkembang.
Nah, proyek Layer 0 seperti Polkadot dan Cosmos hadir sebagai "penerjemah" universal. Mereka bikin sistem komunikasi yang memungkinkan berbagai blockchain berbeda untuk saling berbagi data dan aset dengan aman. Polkadot, misalnya, menggunakan teknologi Parachains untuk menghubungkan blockchain-blockchain yang berbeda, sementara Cosmos punya IBC (Inter-Blockchain Communication) yang jadi protokol standar antar-blockchain. Mereka ini adalah insinyur yang memastikan semua kota bisa terhubung satu sama lain, menciptakan ekosistem blockchain yang lebih besar dan seamless.
Layer 1: Kota Inti Tempat Segala Aktivitas
Layer 1 adalah kota inti tempat semua orang beraktivitas. Nah, di sinilah mayoritas blockchain besar nongkrong. Ada Bitcoin, Ethereum, BNB Chain (BSC), Solana, dan lain-lain. Di layer ini, orang bisa kirim koin, swap token, bikin aplikasi, bahkan bangun ekosistem ekonomi baru.
Tapi karena semua numpuk di jalan utama, sering muncul masalah yang disebut Trilema Blockchain. Secara singkat, susah banget buat punya blockchain yang super cepat (scalable), super aman (secure), dan terdesentralisasi (decentralized) secara bersamaan. Mayoritas blockchain Layer 1 harus mengorbankan salah satu aspek. Misalnya, Bitcoin sangat aman dan terdesentralisasi karena konsensus Proof of Work-nya, tapi lambat dan biaya transaksinya mahal. Sebaliknya, Solana menggunakan konsensus Proof of History yang super cepat, tapi banyak yang mempertanyakan tingkat desentralisasinya, dan pernah mengalami beberapa kali outage (jaringan mati).
Di sinilah Layer 2 jadi sangat penting untuk mengatasi keterbatasan ini.
Layer 2: Jalan Layang untuk Mengurai Kemacetan
Dari Trilema itu lahirlah Layer 2, yang ibarat jalan layang di atas jalan utama. Tujuannya buat ngurangin beban di Layer 1. Konsep utamanya adalah memproses transaksi dalam jumlah besar di "jalan layang" ini, lalu mengirimkan hasilnya ke Layer 1 secara ringkas dan efisien.
Ada beberapa teknologi di Layer 2, misalnya:
➕Rollup: Ada Optimistic Rollup (contohnya Arbitrum dan Optimism) dan ZK-Rollup (contohnya zkSync dan Starknet). Keduanya memproses transaksi di luar jaringan utama (off-chain) dan mengirimkan bukti ringkasnya ke Layer 1. Ini membuat biaya transaksi jadi super murah dan cepat, tapi tetap memanfaatkan keamanan dari Layer 1.
➕Sidechain: Contoh paling populer adalah Polygon yang berdiri di atas Ethereum. Sidechain adalah blockchain independen yang terhubung ke Layer 1. Meskipun butuh keamanan tersendiri, ia menawarkan kecepatan dan biaya yang sangat rendah.
Jadi, meskipun transaksi tetap berhubungan dengan Layer 1 (seperti Ethereum), biayanya bisa jauh lebih murah dan cepat.
Layer 3 dan Seterusnya: Hiburan, Layanan, dan Aplikasi
Lalu ada juga Layer 3 dan seterusnya, yang lebih fokus ke aplikasi atau layanan. Di sinilah kalian nemuin game blockchain seperti Axie Infinity, marketplace NFT seperti OpenSea, platform metaverse, sampai aplikasi DeFi (Decentralized Finance) seperti PancakeSwap. Intinya, layer ini sudah lebih ke arah pengalaman pengguna dan layanan, bukan lagi infrastruktur dasar.
Tren terbaru di sini adalah "App-Chains" atau Modular Blockchains, di mana sebuah aplikasi dibuat di blockchainnya sendiri. Konsepnya adalah untuk memberikan performa yang optimal dan spesifik untuk kebutuhan aplikasi tersebut, misalnya untuk game yang butuh kecepatan transaksi tinggi tanpa gangguan.
Kenapa GAS Memilih BSC?
Nah, kalau ngomongin GAS, posisinya jelas ada di Layer 1, tepatnya di jaringan BNB Chain (BSC). Alasannya sederhana dan sangat fundamental: GAS lahir dengan filosofi akses murah, cepat, dan ramah pemula. Kalau GAS lahir di Ethereum, bisa jadi biaya kirim tokennya malah lebih mahal dari harga tokennya sendiri.
Sebagai perbandingan, biaya transaksi rata-rata di Ethereum bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu rupiah saat jaringan padat. Sementara itu, di BSC, biaya transaksi biasanya cuma beberapa ribu rupiah, bahkan seringkali di bawah seribu rupiah. Ini jelas bertentangan dengan semangat GAS yang pengen jadi bahan bakar ide besar: free energy for all forever.
Lebih dari sekadar biaya, memilih BSC juga rasa-rasanya kok selaras dengan visi GAS. BSC memiliki ekosistem yang besar, pengembang yang aktif, dan komunitas cukup ramah terhadap pendatang baru. Ini memastikan GAS tidak hanya murah, tapi juga mudah diakses dan digunakan oleh siapa saja, tanpa harus takut kantong bolong atau ribet dengan teknologi yang rumit. Dengan nongkrong di BSC, GAS menunjukkan kalau pilihannya bukan asal-asalan, tapi selaras dengan visinya: bikin semua orang bisa ikut gabung dan bertransaksi tanpa harus takut halangan biaya.
Singkatnya, Layer 0 itu pondasi, Layer 1 itu kota inti, Layer 2 itu jalan layang, dan Layer 3 itu mall hiburan. GAS sendiri milih BSC di Layer 1, karena cuma di situlah filosofi ngeGAS bisa hidup: murah, cepat, dan berpeluang merebut perhatianmu dari gebetan.
Salam GASPoL 🚀
